About Me

Foto saya
Bantaeng, Sul-sel, Indonesia
Yg jeLas Baikkk deCh...

Munafik....!!!

Sayup-sayup terdengar suara imam shalat Tarawih di telinga Gito. Tapi, ia tidak dapat berkonsentrasi untuk mendengarkannya pada hari itu. Sesuatu menggangu pikirannya. Berkecamuk dalam hatinya. Mengacaukan konsentrasinya beribadah.
Git, elo ini palsu tau nggak, munafik lo! ujar sisi baik jiwa Gito.
Kenapa? tanya Gito dalam hati, pada sisi baiknya sendiri.
Elo nyadar gak sih? Udah 30 kali elo Shalat Tarawih, dan kali ini adalah yang terakhir! bentak sisi baik.
Loh terus emang napa? tanya Gito lagi, polos.
Elo ngerasain sesuatu gak?
Nggak.
Beneran? sang sisi baik bertanya untuk meyakinkan.
Eh, eh, bentar bentar! Gue tau! Gue ngerasa hampa!
Elo nggak ngerasa dapet manfaat apapun kan?
“Allahu akbar”
Iya ya, 29 hari gue shaum kok rasanya sia-sia ya? tanyanya sendiri dalam hati.
Nyesel kan lo, kalau 29 hari cuma dapet laper ama haus doang? sisi baiknya masih saja terus bertanya pada hati nurani Gito.
YA IYA LAH! jawab Gito.
Maka itu, elo musti berubah! saran sang sisi baik.
B..bb..berubah? Berubah apanya? tanya Gito dengan rasa heran.
Elo harus bisa, buat ngejadiin hari terakhir elo di Ramadhan tahun ini bermakna. Sapa tau aja bos, kita berdua nggak bisa ketemu lagi sama Ramadhan tahun depan!
Gimana caranya?
Ya elo harus melakukan segala sesuatunya ikhlas karena Allah. Bisa gak lo? sang sisi baik malah balik bertanya pada Gito.
Deg. Hatinya tertegun. Ia langsung merenungkan kata-kata bathinnya sendiri. Ia termenung beberapa saat lamanya, sampai pada saat Imam Tarawih mengakhiri Shalat Witir ini. 
“Assalamu’alaikum Warrahmatullah.”
Ia pun menengok ke kiri dan ke kanan. Alhamdulillahirabbilalamin. ujarnya sambil mengusap muka. Lalu setelah ia membaca ‘Doa sesudah Shalat Witir’ yang tercantum di Buku Ramadhannya, ia berdzikir. Dzikir paling murni dan tulus, yang pernah ia lakukan selama 14 tahun kehidupannya. Makin dalam dan khusyu’ ia mengucapkan pujian pada Allah, ia makin terlarut. Ia terbawa kedalam dimensi berbeda, dimana refleksi kehidupannya terlihat dengan jelas. Ia bisa melihat shaumnya yang 29 hari kebelakang, benar-benar terasa sia-sia. Tidak pernah ia merasa sebersalah ini pada Allah dan pada dirinya sendiri. Ia berjanji, besok, ia akan memperbaiki amalannya yang 29 hari kebelakang. Lalu do’a meluncur dari mulutnya dengan penuh ketulusan. Setelah mengucapkan Amiin ya Rabbal Alamin, ia menghampiri Imam Shalat yang terduduk sendirian di depan. Karena hari itu adalah hari terakhir Tarawih, jamaah Tarawih sangatlah sedikit. Apalagi masjid di dekat rumahnya terbilang tidak besar.
“Assalamualaikum Pak Ustadz.” sapanya dengan sopan.
“Waalaikumsalam. Tanda tangan?” tanya Ustadz itu to-the-point.
“Iya. Maaf ya Ustadz, merepotkan.” jawabnya halus sambil menyodorkan Buku Ramdahan dan ballpoint BOXY.
Pak Ustadz yang merasa penasaran, membolak-balik dulu setiap catatan di buku Ramadhan milik Gito. Ia melihat dengan penuh ketakjuban. Setiap halamannya, terisi dengan penuh dan baik. Catatan Ceramahnya tidak ada yang kosong, dan sangatlah rapi. Tulisannya sedikit miring, tapi indah dan mudah dibaca. Shalatnya tidak ada yang bolong. Tadarusnya hari itu mencapai juz ke-29, karena ia selalu menamatkan 1 juz setiap harinya. Infaq Shadaqohnya bersifat rutin. Dan shaumnya selalu tamat selama 29 hari. Dapat dibilang ibadah Ramadhannya sempurna.
“Subhanallah! Selama saya menandatangani Buku Ramadhan anak-anak, 6 tahun kebelakang, bapak belum pernah melihat yang catatannya sebagus ini. Adik jujur kan? Jangan bohong lho, dosa! Kalau memang nggak shalat, tulis aja nggak.” kata Pak Ustadz setengah menasihati.
“Insyaallah pak, catatan ini jujur apa adanya.”
“Alhamdulillah! Semoga saja ya dik, generasi bangsa kita semuanya seperti adik. Rajin, pinter, sopan, tampan pula! Wah, bapak do’akan semoga kedepannya adik selalu sukses, dan beriman pada Allah. Amiin.” seru pak Ustadz sambil menandatangan buku milik Gito.
Dipuji seperti itu, Gito malah merasa malu, bukan gembira. Walau dimulutnya terucap kata “Amiin!” berkali-kali, tetap saja, hatinya merasa malu bukan main.
Apa yang tadi dikatakan oleh sisi baik Gito memang benar.
Ia adalah remaja yang munafik.
****
Muhammmad Gito, adalah seorang siswa SMPN 6 Bandung yang berumur 14 tahun. Ia adalah seorang yang baik menurut lingkungannya. Sopan, ramah, pintar, dan yang pasti religius. Ia tinggal di sebuah keluarga sederhana yang sama-sama religius dan disiplin seperti dirinya. Maka itu ia terdidik menjadi orang yang santun dan baik hati. Tapi baru saja ia sadar, bahwa selama ini ia adalah seorang yang amat sangat munafik. Ya, Gito orang yang tidak jujur. Berkat sifat dan egonyalah, ia tumbuh menjadi anak yang tidak jujur. Ia sebenarnya bukan anak baik-baik seperti yang semua orang lihat. Ia sadar sepenuhnya atas hal itu.
Beberapa sifatnya yang paling menonjol antara lain adalah perfeksionis, egois, dan sombong. Ia ingin segalanya sempurna. Ia ingin dinilai paling baik, paling pintar, paling tampan, dan paling segalanya. Ia ingin sekali menyombongkan mutu dan prestasi dirinya kepada orang lain, karena hanya itulah yang satu-satunya dapat ia banggakan. Maka itu, terkadang ia menghalalkan segala cara untuk menjadi yang paling baik, paling sempurna, dan mendapat perhatian dari orang lain.
Seperti contohnya Ramadhan tahun lalu. Ia malas sekali. Ia hanya bermain Komputer seharian. Ibadah seingatnya saja. Puasa masih setengah-setengah. Buku Ramadhannya? Kosong. Ramadhan, baginya adalah bulan penyiksaan. Ia seringkali (bahkan hampir selalu) minum dan makan diam-diam saat tidak ada orang yang melihatnya. Lalu apa yang terjadi? Saat Ibu dan Ayahnya membagikan uang Lebaran untuk berbelanja keperluan, ia mendapat jatah paling sedikit. Sifat egoisnya muncul tiba-tiba. Ia mengajukan protes.
“Mah, kenapa THR aku paling sedikit? Sama kenapa baju aku dibeli di Matahari, sementara baju adek aja sepotong kecil gitu harganya 3x lipat lagi! Mana belinya di butik muslim eksklusif! Kenapa mah? Mamah kok nggak adil sih?!” protes Gito.
“Gito! Liat adek kamu Salsabila! Walaupun masih 10 tahun kayak gitu, udah ibadahnya rajin puasanya nggak pernah bolong lagi! Lah kamu? Udah gede kayak gini masiiih aja bandel. Kerjaannya tiap hari main Komputer mulu. Makan diem-diem lagi! Emangnya mamah nggak tau apa?” bentak Ibunya.
“J..jj…jadi mamah tau?” tanya Gito ketakutan.
Ibunya hanya pergi sambil berkata, “Tahun ini kamu nggak boleh nginep di Eyang! Jaga rumah!”
Sifat perfeksionis dan egois Gito mulai bereaksi. Ia bersumpah dalam hatinya, bahwa Ramadhan tahun depan, Sabila adiknya yang akan menjaga rumah. Ia harus menjadi lebih baik dari adiknya sendiri. Dan ia pun selalu bersikap baik dan patuh pada kedua orangtuanya semenjak kejadian itu.
Waktu berlalu dengan cepat. Setengah tahun kemudian, Gito merasakan cinta. Ya, ia jatuh hati pada seorang Jilbaber yang bernama Raia. Raia sangat rajin dalam beribadah. Tapi karena sifat Raia yang manja, ia selalu minta dibimbing oleh Gito. Tadarus bersama, dzikir bersama, pacaran dengan cara yang benar. Tapi ia merasa banyak hal dalam dirinya, terutama dari sisi agama, yang masih sangat kurang. Apalagi jika ia membandingkannya dengan Raia. Serasa mendapat cambuk, ia terus berusaha memperbaiki agamanya.
Tapi, semua itu, dia lakukan hanya demi pujian dari orang sekitarnya.
Gito rajin shalat, tapi setiap habis shalat, ia sengaja menggelar sajadahnya dan sarungnya agar kedua orangtuanya bisa melihat dan langsung memberinya pujian. Ia rajin membaca Al-Qur’an tapi ia selalu mengeraskan bacaannya sehingga orang satu rumah tahu jika ia sedang membaca Qur’an. Gito orang yang dermawan, tapi ia tak tulus. Setiap ia menyumbang, ia akan memperlihatkan dam memamerkan nominal uangnya bahkan kadang ia sering berkata, “Maap, duit gue abis, tadi dipake infaq!”
Ia selalu melakukan segalanya demi menjadi sosok yang sempurna.
Ia mampu mengubah dirinya secara total, demi mendapat pujian orang lain.
Begitulah, kehidupannya palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LOVE