About Me

Foto saya
Bantaeng, Sul-sel, Indonesia
Yg jeLas Baikkk deCh...

Tebak-tebakan Lucu paling update

binatang apa yg paLing Bodoh??                                    
jwb: Kebo gegar otak, udah kebo, gegaR otaK pula.
tahu apa yg paling besaR?
Jwb: TaHu isi Sumedang
siapa yg pintaRnya meleBihi Einstein??
Jwb: Orang yg ngiLangin Bom atom sehingga EinsteinLah penemunya.
dari depan yg keliatan cuma tangan kanannya, apa haYooo???
Jwb: Petugas Jalan TOL
Binatang apa yg kakinya Lima???
Jwb: Anjing kencing Lagi ngobRoL sama ayaM.
Mana yang lebih panadai, anjing atau monyet???
jwb: emang Lo peRnah sekelas sama mereka.
kalo seandainya semua orang kaya menjadi miskin, lalu orang miskin jadi apa???
jwb: Jadi heran.
enak mana, beras import dan beras LokaL?
jwb: enakan nasi, eLo doyan beRAs??? hehehehe
apa yang ada di dalam celana dalamnya wanita. depannya M beLakangnya K??
jwb: MereK celana daLemnya,,,Wueeeeee
Kenapa pesawat terbang ga bs MunduR?
Jwb: karena pesawat terbang ga punya Spion.
Binatang laut apa yg paling tuaaa haYooo???
jwb: UDANG. Udah keciL, BongKok, pake jenggot pula.
kenapa air Hujan jatuhnya kebawah??
jwb: kaLo dari atas namanya air mancuR dong, kaya Jamu!! hehehe

Hewan apa yang paling panjang?
jwb: Ular lagi ngantri beras

apa persamaannya Batu dengan Buta???
jwb: sama2 tidak baik untuk mata.
Kuman apa yg dipatuhi teman2nya??
jwb: kumandan Upacara.

Tebak-tebakan paling update di DUNIA,,

-Sambel apa yang ada di pinggir jalan?… Sambel Ban
-Apa bahasa Cinanya sepi?… Zun yi Zen yap
-.Kenapa anjing laut berkumis? karena mo nakutin kucing laut
-.Daun apa yang paling keras dan sakit? smack daun.
-.Apa bahasa Arabnya diam di tempat? Ta’kabur
-.Kenapa superman bisa terbang?… Kalau bisa nyopir namanya bukan superman, tapi sopir..man..!!
-.Putih, kecil, tapi kalo dipukul ngebangunin orang sekampung?…Nasi nempel di bedug
-.Kenapa anak kucing dan anak anjing suka berantem?… Namanya juga anak-anak !!
-.Dikocok, tegang. Pas keluar jerit senang..Hayo apaan?… Ibu-ibu undian arisan.
-.Siapa nama kecilnya jendral sudirman?… sudirboy.
-.Negara apa yang paling banyak muncul dalam peribahasa? …Swedia, dalam peribahasa “swedia payung sebelum hujan”
-.Orang apa kalau dipukul gak sakit-sakit?… Orang gak kena, yeeeeeeeeee!
-.Jus apa yang turun dari langit?… Jus…tru itu saya ngga tau.
-. Bagaimana suara kucing kalo jalannya mundur? …gnooooem …

Surat dalam Hujan

Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan? Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah? Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang pernah kau kenal.Hujan

Menunggu Pelangi

“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi.                        
Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan.                          Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini.                          Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka.     Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda.                            “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan.                            “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini.                           Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati.                             Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia??                         Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika.                          Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin.                              Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”.                              Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama.                           
Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh.                               Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku.                             
Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga  tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit.                               Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.”                             
Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar -  benar dipenuhi haru hari ini,                             
Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini.                             
“Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA”                          
Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana?                                 Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama.     “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih.                                 “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?”  tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan  heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”                            
Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini.                             Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish.     Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!”                              
Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku!                               
Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.                                 
Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata  aku sudah mati.                                
Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit?                            
Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya??                            “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.                            Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang.                             Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi :  “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling  gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?”       Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo”                          
Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia.      Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.

Berpisah oh No

Air mata menetes ke bajunya setik demi setitik, dia hampir putus asa dengan semua kejadian ini, menyerah! Dia hilangkan sifat utusan Allah itu, setan seakan akan mengajaknya masuk ke jurangnya yang dalam . Terdiam Terdiamlah yang dilakukannya. Tiba tiba,”Hai friend how are you ?” Tanya temannya dengen logat sok inggris.”sok Inggris lo,” jawabnya “emang gue kayak bule” kata temannya lagi “iyabule, budaknya kale ya”katanya untuk menutupi kesedihannya “eh prend ngomong 2 how are you itu apa se?” Tanya temennya.Dia bicara”kamu itu gimana sih ngomong gak tau artinya dong dong lo!how are you itu apa ya ,eh kamu tau nggak kalo…”,”pertanyaan gue kan belum dijawab boba lo”kata temennya “apaan tuh”Tanya nya,temennya menjawab”bodoh bangethahahahahahaha ha”, “ah udah kamu gila kale ,frend Can I megang your batuk” katanya”eh aku nggak SGM ya!”cegah temannya.
Tiba tiba mereka diam, mereka melamun. Tiada suara yang mereka keluarkan dari mulutnya, Hening.Dan kau tahu Tiwi meneteskan air matanya lagi,” Kenapa sih lo itu” kata temennya si Mina.air matanya semakin deras mengucur di pipinya, lebih deras dari air hujan yang turun ke bumi.Mina merangkul Tiwi agar tenang.”Sudah kamu diam dulu baru kamu bicara ya!”kata temennya itu.Tiwi bernafas sejenak lalu dia berkata”kalo kita ditakdirin berpisah apa reaksimu”, “What ? berpisah !”Tanya temennya.”aku nggak bercanda aku serius tambah bisa jadi seratus rius”katnya.”kenapa kita berpisah apa yang bisa menyebabkan kita berpisah”,Tanya temennya”teman, kamu tahu ortu gue kan, dia orangnya kelewat batas, aku benci itu, sebenarnya dia itu harus mencerminkan perbuat an yang baik bukan seperti itu, dia itu orang apa iblis”katanya Temannya berkata”lha terus apa hubungannya denga perpisahan kita ini”.”orang tua gue tidak memperbolehkan aku bergaul ama kamu “ katanya, “kenapa” tenya temennya,”kamu itu dianggap orang penyebar perbuatan buruk, katanya gara gara kamu aku jadi bodoh, jadi anak kurang ajar lah, jadi anak yang durhakalah, dan mulai besuk aku akan dikawal dengan pengawal pribadiku”.”mungkin lebih baik begitu kitakan masih bias calling, ya,nggak” kata temennya dan pergi meninggalkan Tiwi, dia pergi ke kamar mandi ,menangislah yang ia lakukan,dia kenang masa masa indah bersama teman akrabnya itu,”kita sudah bersama sejak kecil,kenapa kita harus berpisah,hanya kamulah teman aku, hanya kamu kawan, aku harus cari cara, tapi…, yah aku harus cari cara.”katanya dengan nada kepastian.
Next morning,Mina berangkat pagi pagi untuk memastikan perkataan sahabat karibnya itu,dan ternyata,memang betul apa yang didengarnya itu,Tiwi diantar oleh pengawalnya yah istilahnya bodyguard gitu,apalagi si bodyguard itu mengantarkan Tiwi tidak hanya sampai pintu gerbang, tetapi di depan kelasnya,dan bodyguard itu juga menungguinya di tempat parkir, dan ini membuat hati Mina semakin benci ingin meremas remas saja tubuh ortunya Tiwi itu.
“Eh lihat tuh, Tiwi ada bodyguardnya seperti anak kecil aja hahahaha”, kata salah satu teman Tiwi,ternyata tidak hanya Mina yang jengkel dengan kelakuan ortu Tiwi tapi, juga Tiwi ,dia malu dengan teman temannya.
Hari demi hari pun berlalu,minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan,mereka berdua sudah tidak kuat dengan peristiwa ini,tiba tiba Mina mempunyai ide dan dia segera cepat menyambar Hp nya yang ada di meja,”halo, bisa bicara dengan Tiwi”tanyanya di telpon,”ya saya sendiri,Mina ya ada apa Min gimana kabarnya, maklum kita jarang komunikasi selama 5 bulan”jawab Tiwi dengan nada yang super cepat dan ingin tahu,”aku baik baik saja kamu jugakan”jawab Mina,Tiwi berkata,”Kata siapa gara gara ortuku kita berpisah, padahal apa sih salah kita, sebenarnya aku ingin mencari cara untuk keluar dari belenggu ini, I hate it”,”sok inggris lo ,eh prend kamu tahu nggak, kalo aku punya ide untuk bebas dari kutukan ini”kata Mina,”kutukan kata lo, aku nggak percaya, moga aja kamu cepat dibawa ke RSJ,amien”kata Tiwi.” Aku serius!, begini…….eh,jangan jangan kita bicara di taman aja ya”kata Mina,”aduh kamu kan tahu aku harus selalu bersama pengawalku itu”kata Tiwi,”dari dulu sampai sekarang kamu sama ya,sama sama boba”,cela Mina”aku beneran, aku nggak bias berpikir sekarang, udah dech ngomong aja bagaimana caranya, jangan basa basi, jangan jangan kamu juga tak tahu caranya”kata Tiwi ,” Kamu nggak bisa serius ya, kamu ajak pengawal lo ke taman, setelah agak lama, kamu ke kamar kecil, nah aku akan siap sedia di sana, gimana setuju nggak”,ide Mina,”oke “jawab Tiwi.
Sesampai Tiwi disana,dia mengajak pengawalnya untuk makan bakso, Tiwi cepat cepat makan,setelah ia selesai dia melakukan instruksi Mina tadi, sedangkan pengwalnya itu ketiduran karena kebanyakan makan.
“Hai Tiwi sini”,teriak Mina,”Hai, cepat katakan aku mau les piano nih,” kata Tiwi”oke, begini blablablablabla blablablabla,gimana setuju nggak”kata Mina,Tiwi kaget”apa ?aku kamu suruh minggat ”,”sut, rahasia, mau nggak”ajak Mina,”Demi sahabat aku mau dech”kata Tiwi.
Hari H pun tiba, ketika malam,Tiwi menyelinap keluar rumah dia ingin kabur, menghilang,dia lari jauh ke tempat yang telah direncanakan.
“Oh tidak Tiwi kabur, papaaaaaaaaaaaa, Tiwi tidak ada di kamarnya”jerit mama Tiwi dengan nada cemas,” tenang ma,papa akan telpon polisi”kata papanya.
Hari berganti hari, hilangnya Tiwi tersebar di sekolah nya begitu juga dengan Mina si pembuat perencana, Semau anak kaget sekaligus sedih dan mengira ini semua hanya karena ortunya yang sok disiplin, tetapi tidak bagi Mina, dia berpikir rencananya berhasil, dia tersenyum puas dan memberitahu Tiwi bahwa rencananya berhasil.
Salah satu teman Tiwi mengajak berunding untuk mengatakan kepada orang tua Tiwi terlalu keras dengan anaknya itu,dan keputusannya adalah Mina, Lintang, Ikal dan Maharlahlah yang akam menjadi wakil masalah ini.
“Assalamualaikum”ucap mereka serempak didepan rumah ortu Tiwi,”Waalaikum salam”jawab papa dam mama Tiwi.Setelah mereka dipersilahkan masuk mereka memberi jalan tentang permasalahan ini mereka sedikit menegur ortu Tiwi dengan sopan,sebenarnya papa dan mama Tiwi tidak mengijinkan Mina masuk dan ikut berbela sungkawa, tapi karena mereka mengotot untuk diperbolehkan, ortu Tiwi mengijinkan.Setela agak lama mereka menyampaikan berbagai masaalah dan ide, mereka mengambil keputusan agar memperbolehkan Tiwi bebas,dan bergaul dengan Mina.
Sampai keesokan harinya, polisi menyatakan bahwa Tiwi telah diketemukan, gembiralah hati orang orang disekitarnya. Dan mereka mengadakan syukuran, ortu Tiwi juga menyatakan Tiwi boleh berteman dengan Mina.
Selesai acara mereka berbincang bincang,“Akhirnya kita bisa brsahabat kembali tanpa ada gangguan lagi” kata Mina “ya iyalah”,kata Tiwi.”Teman apa kesimpulan kalian dari peristiwa ini”,Tanya salah satu temannya,”Kesimpulannya BERPISAH OH NO”jawab mereka berdua bersama sama.Dan mereka tertawa bersama sama sebagai tanda persahabatan

Memoar of Crazy

ADA YANG BERLARI DI SANA !Di balik lorong samar lembab dan tak nampak. Pergelanganku meregang. Bau pengap dan aneh tercium setiap aku menarik napas. Kupikir saat itu bumi sudah kehabisan oksigen. Tetapi lebih dari itu, aku merasa sesak saat semua mata memandang. Sebagian memandang seolah aku anak kecil. Tersenyum seolah aku sedang merengek. Aku bukannya merengek, aku meraung untuk dilepaskan.Pintu berwarna putih dengan bercak noda di sudut tertutup. Aku berjalan menuju jendela berjeruji penjara. Kupegangi jeruji dingin dan berkarat. Semua yang kukenal berubah pandang dengan mata berlimpah cairan. Kulihat mata mereka memerah. Itu kali terakhir kusaksikan kerabatku. Sekaligus kali pertama aku berada di antara orang-orang aneh yang hilang akal.   Aku menyisir rambut yang mulai kusut dan menipis. sudah lama aku melakukan ini di depan cermin. Sejak si Nyonya Cina berceloteh tentang anak cicitnya yang banyak hingga ia selesai boker. Bukannya aku ikut-ikutan hilang akal dengan sengaja memperlama menyisir rambut tipis ini. Melainkan memang rambutku tak sehalus sebelumnya.Seseorang datang. Meraih sisir. Mencoba merapikan rambutku dengan perlahan.“Kalau mau menyisir rambut kusut, lakukan dari sisi ujung rambut. Hal itu tidak akan membuat rambut berguguran.”Dokter muda itu baru saja diangkat sebagai dokter di sini. Ia berasal dari universitas ternama di ibu kota negeri. Dia ditempatkan di sini dan langsung menanganiku. Namanya .... ? Entah ? Aku lupa. Atau bisa saja aku tak mau tahu. Aku hanya tahu dia Dokter!“Suami saya datang, Dok ?”“Belum, Bu. Tapi...bukannya tadi keponakan Ibu datang? Dia kan menitipkan makanan untuk Ibu ? Dia bilang akan mengajak adik-adik Ibu ke sini.”“Siapa?”“Keluarga Ibu...”Aku memandangnya miris. Entah apa yang ada dalam benaknya. Ia bukan keluargaku. Ia orang asing. Kenapa ia sampai memvonis kalau ada beberapa keluargaku yang datang? Aku tahu ... aku tahu dia hanya menghibur. Tapi hiburannya malah membuat aku tambah hilang akal. Coba Kau pikir. Kalau tak ada satu pun keluargaku yang datang menjenguk, kenapa Dokter itu sengaja berbohong hanya karena ingin menghiburku? Aku begitu kenal dengan keluargaku sendiri.    Aku tahu...aku sudah hilang akal. Tak ada satu pun dari mereka yang dengan rela mengakui kalau aku masuk dalam garis keturunan mereka. Sebab aku sudah hilang akal. Mereka pasti malu. Tak akan mau menginjak hidupku lagi semenjak aku dituduh hilang akal. Hanya aku, Tuhan, dan setan yang tahu.  Ini semua manipulasi. Beberapa kebunku kini rusak. Dulu, semua tanah yang kupunya selalu tumbuh subur. Berbeda dengan milik mereka. Kini, setiap panen di kebun mereka selalu berlimpah ruah. Berbeda dengan milikku. Aku pikir itu hanya rahmat Tuhan yang diputar dariku ke mereka. Tak apalah. Toh untuk adik-adikku juga. Tapi, sekali lagi, hanya aku, Tuhan, dan setan yang tahu kalau malam itu kutemukan jarum yang tertanam di belakang dapur! Dokter itu kembali mengajakku bicara. Ia bertanya. Aku tahu ia memancing sebuah fakta dariku dengan pertanyaan kecilnya seperti menanyakan siapa-siapa orang yang sering aku sebut. Ia ingin tahu apa penyebab sebenarnya aku hilang akal. Aku tak mau mengatakan kalau aku menemukan jarum yang tertanam di belakang dapur. Itu malah akan semakin memebuat mereka mengira aku hilang akal. Biarkan saja dia berspekulasi macam-macam. Aku hanya ingin bersikap seperti biasa. Aku tak mau berontak atau apapun yang membuat semua orang resah. Aku sebenarnya sudah resah di sini di sekitar orang-orang yang hilang akal. Aku ingin pulang...aku ingin pulang...dengan sisa-sisa tanah dan harta yang kumiliki. Akan kugarap kembali seperti dari awal. Seperti ketika almarhum Ayah membagi hartanya.“Bu, ini ada roti. Makanlah. Badan Ibu semakin kurus...” kembali Dokter membangunkanku dari sejumlah pikiran waras yang tak pernah ia sadari.“Tidak, Dok. Saya tak mau. Kalau kawan-kawan saya di sini makan sup bening, kenapa saya harus makan roti?”Kulihat Dokter mengangguk seperti menyetujui idealismeku tadi. Rasakan! Kau harus tahu kalau kau menangani orang yang salah. Aku bukan sakit hilang akal! Ini hanya manipulasi!“Bu, ceritakanlah bagaimana hubungan Ibu dengan saudara-saudara Ibu. Saya pikir hal itu bisa membantu. Apalagi selama ini beberapa kerabat Ibu sudah banyak menceritakan soal Ibu. Mereka bilang Ibu pekerja keras dan ramah.”  Kupandangi wanita muda ini. Aku tahu dia hanya ingin menjalankan tugasnya dengan baik meskipun tak ada satu orang spesialis pun yang bisa memahami batas kenormalan seseorang. Termasuk dia. Dia tak pernah tahu kalau aku bukan hilang akal. “Nak, kalau memang benar mereka datang, tolong beri tahu saya. Saya ingin pulang...” “Ibu belum boleh pulang. Ibu masih sakit. Nanti yah...tunggu Ibu sudah sedikit lebih gemuk. Kalau kurus begini mana bisa saya pulangkan.”“Saya tidak sakit, Dok.”“Kalau tidak sakit kenapa kurus begini?”Aku terdiam. Ia benar. Tapi tetap saja aku tak mau makan.    Suamiku seorang yang memiliki otot regang yang kuat, dibalut kulit legam yang selalu berkeringat jika ia bekerja di luar rumah. Ia bertubuh kecil namun mampu memanjat pohon nyiur setinggi apapun. Ia juga orang desa sepertiku yang tak terbiasa duduk dihadapan komputer atau meja tulis. Kami terbiasa memunguti buah-buahan yang jatuh dari pohon untuk menjualnya daripada dimakan habis oleh musang atau kalong.               Oh iya, musang bukan pemakan buah. Aku lupa...tapi jangan mengira kelupaanku yang satu ini sebagai gejala aku hilang akal ! Kembali ke persoalan suamiku. Dia bernama Ahmad. Matanya kecil dan bibirnya selalu mengucapkan kata-kata baik. Ia menikahiku ketika aku sudah tak bisa lagi mendapatkan anak. Ia meninggalkan istri-istrinya dan hidup bersamaku. Kalian pasti berpikir kalau dia hanya mengincar hartaku. Bukan ! Dia seorang yang alim. Dia selalu ceramah ketika Jumatan. Dia juga sabar. Seluruh keluargaku juga mengatakan makhluk dunia paling sabar adalah dia! Tapi sayang, aku tak yakin dia menyayangiku seperti perempuan yang masih dipenuhi cairan dan mampu memberi keturunan.Aku punya seorang anak angkat yang kadang menyakiti perasaanku. Tapi aku tahu, dia hanya seorang anak. Dia hanya tak suka kalau aku cerewet di rumah. Dia anak yang pintar. Selalu rangking satu. Meski aku tak mau mengakui kepintarannya berasal dari darah keluarga asalnya. Dia pintar karena jasaku yang telah memberinya kebahagiaan lewat makanan bergizi dan barang-barang yang membuat dia senang, terhindar dari kesedihan dan rasa malu. Anakku itu tak cantik. Hampir seperti wajahku. Beberapa minggu sebelumnya, perhiasannya ditarik oleh kakak tirinya, anak suamiku. Ditarik ketika ia sedang tidur. Anakku itu hanya diam saja. Ia tak berani melapor. Kecuali ketika kulihat tak ada lagi kalung emas di lehernya. Dengan terbata-bata, ia mengaku kalau anak kandung suamiku yang mengambilnya. Aku juga mempunyai 6 saudara kandung. 3 laki-laki, 3 perempuan. Aku yang paling tua. Dari semuanya, hanya satu orang yang kurasa sangat menyayangiku. Nafiri. Dia lahir setelahku. Tinggal di kota dengan dua orang anak yang sudah kaya. Ia tak pernah melawan atau menyakitiku sejak dulu. Ia sayang dan lembut pada siapa pun. Aku memujinya bukan karena aku tak suka adik-adikku yang lain. Hanya saja mereka kadang suka membantah. Mungkin karena mereka merasa lebih muda. Aku memiliki banyak keponakan dan cucu. Beberapa keponakanku sempat kuasuh dulu. Kini ada yang sudah berumah tangga, ada yang sarjana, bahkan ada yang ke Jepang sebagai pemain Kabuki. Tapi masalahnya, tak satu pun dari puluhan keluargaku datang dan memberi senyuman padaku di sini. Tak satu pun!!!  Beberapa penghuni di ruangan ini menyenggol. Aku terbangun tepat ketika semuanya bersiap untuk sarapan di ruang makan. Aku tak mau. Meski mereka memaksa. Bahkan               si Nyonya Cina begitu sedih karena aku tak ikut makan. Para perawat sempat memaksa.“Tidak, Bu...saya sedang tidak ingin makan...” kataku ketika Dokter datang bertanya.Ia meraba kening. “Ibu sakit. Kalau begitu Ibu istirahat dulu,” katanya dengan wajah prihatin.Tak lama, aku memejamkan mata, ia datang membawa obat. Kumakan dengan baik semua obat yang ia berikan. Lalu aku melanjutkan tidur ayam. tidak sepenuhnya tidur. Dengan sedikit terjaga inilah, aku mendengar suara ricuh di luar. “Ibu...Ibu Nandung...ada keluarga Ibu nih?”Mungkin saja itu hanya mimpi.Hingga aku hampir kembali terlelap, aku dibagunkan oleh perawat dari luar jeruji. Aku terbangun dari lelap di lantai ubin yang dingin. Kulihat dua orang wanita berpakaian rapi dan terlihat sehat di luar jeruji. Aku bangkit. Kulihat mereka. Keduanya mencium punggung tanganku.“Apa kabar ?”“Bibi juga apa kabar?” tanya seorang yang lebih muda. Kulihat seorangnya lagi menghindar. Ada mata memerah yang ia punya. Matanya juga penuh dengan air. Bahunya berguncang. Seorang perawat menenangkannya. Kini seorang yang lebih muda bertanya padaku.“Bibi sudah makan ?”“Sudah,” jawabku. Kuberi mereka senyuman karena mereka telah rela menangis untukku. “Kenapa kalian menangis, Nak?” Dia tak bisa menjawab. Sungguh baik hati mereka. Menangisi aku, orang yang tak mereka kenali. Bahkan aku tahu kalau dua orang ini adalah orang lain yang dulu bahkan hanya datang minta air minum ke rumahku. Mereka bukan keluargaku. Mereka hanya menutup kedok agar kedatangan mereka sebagai ‘keluarga’ dapat membuat semua orang berpikir kalau aku tidak kekurangan kasih sayang.Tapi aku tahu Tuhan, aku tak pernah mengenali mereka. Tapi aku sangat senang kalau mereka merasakan perih melihat keadaanku yang ringkih dan dikelilingi orang-orang hilang akal.  Wanita yang lebih muda itu menatapku terus. Ia menatap sembari mencoba menahan sesak napas. Ia terlihat lebih kuat dari wanita yang satunya lagi. Hingga kemudian mereka diajak bicara oleh Dokter. Aku tak dapat melihat lagi apa yang mereka lakukan. Tapi ketika mereka datang, mereka bilang... “Bi, kami pulang dulu yah?”“Bibi ikut,” pintaku.“Nanti ya, Bi. Nanti saya jemput. Tapi saya pulang dulu. Bibi yang sehat saja di sini. Ada roti buat Bibi. Dimakan yah?”“Tidak, aku mau pulang. Aku tidak betah di sini.”Kembali kulihat ia menangis. Mereka jadi kebingungan. Kemudian aku hanya bisa pasrah karena aku tahu mereka tak mau membawaku pulang lagi. Pulang kemana ? Bukankah mereka bukan keluargaku ? Terserah, yang pasti keluar dari sini. Aku tahu kalau mereka tak akan mau membawa aku pergi sebab tugas mereka hanya sampai melihatku saja. Akhirnya aku hanya berbalik badan dan membiarkan mereka pergi. Jelas aku marah ! “Itu keponakan Ibu yah ?” tanya seorang yang hilang akal. Aku malas menyebut namanya.“Entah! Mungkin saja benar...”Meski mereka bukan keluargaku, tapi aku lebih menghargai mereka karena mau datang untuk melihat.         “Keluar!!! Keluar!!! Cepat!”Beberapa orang datang menyerbu ruangan. Mereka terlihat tegang. Tapi badanku semakin panas. Kepalaku pening dengan berat. Beberapa bunyi mendengung seperti beribu tawon terdengar. Aku menangis. Aku memekik menjerit. Beberapa dari mereka menenangkan. “Kalau kalian ingin selamat, pergilah. Biarkan aku pergi. Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi...”“Tenang, Bu...tenang, Bu...”“Kalian akan mati...kumohon percayalah! Aku sungguh-sungguh. Demi Allah...mereka akan datang membunuh kalian.” Langit di luar tampak gelap. Mendung. Sebentar lagi hujan dengan angin yang luar biasa besar. Aku tahu itu adalah tanda kalau penyakit akan datang pada orang-orang yang sudah berbaik hati ingin aku sembuh. Kasihan para dokter dan perawat yang tak tahu apa-apa. Mereka hanya menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang dokter. Tapi mereka akan terkena sakit yang merenggut maut.Aku harus berlari. Aku harus menemui kepala rumah sakit, mungkin dia sedikit lebih bisa memahami jiwa seseorang yang tidak sedang hilang akal. Mereka harus tahu kalau teluh yang dikirimnkan keluargaku akan membuat mereka mati. Aku berdiri dan berlari menuju pintu yang terbuka. Tapi mereka menangkapku.  “Lepaskan aku! Kalian akan mati!!! Kalian akan mati. Kumohon pergilah!!!”Tapi tak ada yang mau peduli. Mereka hanya menahan dan mengikatku ke ranjang dengan kain-kain putih kumal dengan erat. Aku sesak. Dadaku meluap-luap karena ketakutanku tak pernah mereka percaya. Aku berontak sekuat tenaga. Tetapi ikatan sungguh kuat. Bahkan kulihat mereka memberikanku cairan lewat mata jarum yang runcing. Aku mulai bisa melihat sekitar dengan jelas dan nyata. Tidak lagi kabur seperti sebelumnya. Suara-suara tawon semakin menjauh. Tapi malah aku bertetesan air mata.Dokter datang memelukku dengan hangat. “Ada apa, Bu ?” tanyanya menangis.“Percayalah padaku, Nak. Aku tak mau kau celaka. Kumohon percayalah...!”Ia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan dalam dan khidmat. “Iya, saya percaya. Ibu tenanglah. Kami semua ramai di sini. Kita akan saling menjaga...”“Sungguh?”Ia mengangguk pasti.Tuhan...aku bersyukur kali ini mereka memahami kebenaran yang sesungguhnya!     Gambaran kebun-kebun dan hutan lebat terlihat nyata. Aku yakin ini ilusi. Ilusi yang sengaja didatangkan untuk mengirimkan aku peringatan. Kebun-kebunku yang lebat dan rimbun sedang panen. Buahnya lebat. Di antara pohon-pohon rambutan dan lembabnya daun-daun kering di tanah basah, berdiri orang tanpa garis di bibir. Kami menyebutnya Orang Kebenaran. Mereka datang mengirimkan pesan.“Pergilah secepatnya. Apa kau mau mereka di sini mati semua karena telah dianggap ikut campur dalam urusanmu? Pergilah, demi keselamatan kalian semua. Sebentar lagi teluh itu akan dikirim. Dua orang yang datang menjengukmu telah mendapatkan rambut yang kau jatuhkan selama bersisir.”“Dari mana kau tahu ?”“Kau percaya pada misteri Tuhan? Tak perlu kau tanyakan dari mana aku tahu. Cukup selamatkan hidupmu. Hidup orang-orang yang tak berdosa ini.”Maka kubuka mata, kusaksikan dunia menjadi sepi dan senyap. Aku berada di atas tempat tidur tunggal di ruang bersih dan lebih sempit. Tak ada siapa pun, tak ada                si Nyonya Cina. Aku dipindahkan di ruangan lain karena telah mengamuk. Lihat kan? Betapa sadarnya aku telah mengamuk, juga tahu kalau ini ruang isolasi? Lalu kenapa orang sepertiku dianggap hilang akal?!      Aku pikir kau percaya, Dokter.Ia masih terus tersenyum memberi aku makan di ruang isolasi. Padahal aku tahu kalau ia bingung. Ia tak akan mungkin menyembuhkanku karena memang aku tak pernah sakit. Ia teguh dan sabar. Namun ia sama saja dengan yang lain, tak pernah percaya. Mereka semua makhluk perkotaan yang hilang kepercayaan pada teluh. Mereka tak tahu kalau teluh masih ada di muka bumi.Setan masih hidup nyata dengan manusia. Meski banyak manusia yang tak mau mengakui kehadiran teluh.“Saya akan lepaskan ikatan, tapi jangan marah lagi yah? Ibu sudah aman di sini.”“Tapi kenapa di sini sepi ?” tanyaku ketika dengan perlahan dia membuka ikatan.“Ibu di ruang isolasi.”Kan benar?!“Kenapa saya diisolasi?”“Karena Ibu mengamuk tadi malam. Pasti karena demam Ibu sangat tinggi. Makanya, sembuhlah. Saya ingin mendengar Ibu mengaji seperti yang dikatakan keponakan Ibu. Tapi jika Ibu sudah sembuh nanti.”Aku tersenyum miris dan sinis. Lagi-lagi dia percaya pada orang-orang hilang akal yang mengaku waras.Ikatan sudah terlepas semua. Aku mengambil piring drai tangannya. Kulahap makanan itu sendirian sebab tanganku tak lagi terkekang. Ia pindah duduk di belakang punggung. Ia mengikat rambutku agar tak tergerai seperti orang hilang akal. Ia ingin aku tetap terlihat segar.“Ibu mau mandi,” aku memintanya.“Jangan dulu, badan Ibu masih panas. Saya ambilkan lap basah yah ?”Aku mengangguk. Duhai anak yang baik. Kau akan masuk surga karena telah relah membersihkan tubuhku yang ringkih, berkeriput, dan kotor dengan tanganmu yang terbiasa bersih. Bahkan anakku saja tak pernah membersihkan keringat yang menetes di keningku saat kami sama-sama meraih panen buah-buahan.Aku diam. Pintu kamar terkunci setelah Dokter keluar mengambil handuk basah. Aku termenung memikirkan bagaimana caranya menyakinkan mereka kalau sebentar lagi mereka akan kehilangan nyawa kalau mereka tak membiarkan aku kembali pulang ke rumah. Mengambil jarum itu dan memusnahkannya sehingga teluh yang dikirimkan bisa terpatahkan.Dokter datang dan membuka pintu. Ia melihatku lagi dengan senyuman. Ia meletakkan ember bersii air segar. Diperasnya handuk kecil. Ia membasuh wajahku terlebih dulu dengan lap basa. Wajah kembali terasa segar dnegan sentuhan air. Hingga kemudian dia memberishkan setiap jengkal tuibuhku dari leher hingga buah dada.“Kepala Ibu masih pusing?” tanyanya.“Sudah tidak lagi. Dokter, saya mau tanya...”“Apa?”“Kalau dari sini ke rumah saya, jauh tidak ?”“Cukup jauh, Bu.”“Pakai Oplet apa?”“Mungkin oplet berwarna coklat, lalu abu-abu...”“Ongkosnya berapa?”“Dua ribu barangkali... Ibu tidak pernah naik oplet ke sini yah?”“Tidak pernah, Ibu serting pergi ke sini menjenguk Fatimah dengan motor air milik suami Ibu.”“Pasti menyenangkan mengarungi lautan dengan suami...”“Iya...kamu sudah menikah, Nak?”“Belum, Bu.”“Ibu peringatkan, hati-hati yah memilih pasnagan. Cari yang setia dan kalau perlu sedikit terus terang. Jangan terlalu manut dengan omongan kita. Karena orang seperti itu kita tak tahu bagaimana isi hatinya. Ia selalu berpura-pura menurut.”“Benar, Bu. Laki-laki harus lebih bisa memerintah istri. Bukan malah sebaliknya. Saya pun tak mau laki-laki yang lemah. Saya mau laki-laki yang mampu bilang tidak pada tindakan saya yang tidak benar.”“Bagus kalau kau berprinsip demikian...”“Ibu, saya bangga dengan Ibu. Ibu adalah pasien dengan kasus yang cukup berbeda. Ibu tak terlihat seperti pasian lainnya.”“Sudah berapa kali saya katakanb, saya bukan orang yang hilang akal.”“Yah, Ibu bahkan dapat melihat dengan tatapan normal...”“Karena memang saya orang normal!”Aku berdiri mendadak. Kusingkirkan ember berisi air yang menghalangi langkah. Aku berlari membuka pintu yang kuncinya tergantung dengan apiknya. Kudengar dokter itu berteriak memanggil. Ia seperti mengejar. Aku tak mau berpaling melihatnya lagi.Aku harus pergi dari sini.“Kejar Ibu itu...Satpam!!!” Kudengar suara alarm terdengar memekak. Telingaku sakit mendengarnya. Segera terdengar derap langkah orang mengejar. Aku tak mau menoleh ke arah manapun. Aku terus berjalan lurus ke arah yang menurutku pintu keluar. Hingga lorong tak lagi gelap, beberapa orang berada di depan mencoba menghadang. Aku berbelok ke arah lain, ke arah dengan cahaya terang di depannya.Kini suara tawon terdengar. Mereka pasti ikut menghalangiku untuk kabur dari tempat ini agar rencana mereka tertap berjalan lancar. Mereka mengejar. Baik mahkluk sempurna maupun makhluk jadi-jadian. Mereka semua mengejar. Telingaku penuh dengan suara. Napasku sengal dan lemas. Kakiku sudah gemetar. Dadaku sudah kempis dengan oksigen yang kurang. Tapi aku harus lari. Demi semua orang.Aku menoleh sejenak..Dokter berlari dengan wajah gusar. Aku tahu dia menagis dan sedih.Kakiku berlari lebih cepat dari biasa setelah aku meruntuhkan tempat sampah untuk menghalangi jalan mereka. Seorang di depanku hampir menyergap. Kupukul wajahnya dengan daun pintu yang kebetulan terbuka di antara kami, ia tetjatuh dan mungkin pingsan. Bahkan mungkin mati.Ya Tuhan...terima kasih...aku berada di luar. Di pinggir jalan raya. Kulihat lagi Dokter untuk terakhir kali. Sang perempuan muda yang baik hati dan memiliki cita-cita mulia untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Aku berbalik tepat ketika suara tawon semakin terdengar jelas. Bahkan wujudnya tampak di hadapanku.Aku berteriak.Berteriak hingga pita suaraku pun putus. Hingga suaraku terhenti!!!Terakhir kali kulihat...jemariku kejang!!!   “Maafkan kami...” kata mereka.Kami hanya bisa menerima apa yang mereka katakan sebagai kepasrahan. Toh mereka memang tidak tahu. Ini semua di luar kuasa. Ini memang sudah takdir. Meski ada kelalaian di balik insiden ini. Kami semua memandangi Bibi dengan mata kami yang lelah. Kami semua memandangnya dengan perih yang menjerit. Wanita itu sungguh penuh gejolak. Penuh misteri. Tapi kami semua menyayanginya.  “Kenapa Bibi samapai begini, Ma?” tanya seorang sepupuku yang lain. Ia sudah punya suami. Ia sedih kedua kalinya. Ia juga sedih saat kami datang menjenguk Bibi dua hari yang lalu.Bibiku, yang bernama Nafiri menangis sambil berdzikir.“Kami menyayangimu, Nandung...”Seorang Dokter muda datang. Dia menyentuh pundak pamanku, suami Bibiku yang tercinta. “Pak, beliau menitipkan pesan...kalau dia mencintai kalian semua. Meski ia marah karena ia tak pernah dijenguk...”“Kenapa dia sampai mengira tak pernah dijenguk oleh kami, Bu ?”“Ya, saya tahu, Pak, tak habis setiap saat kalian semua datang dan memberikan perhatian. Dia memang selalu menganggap tak ada satu orang pun dari keluarganya yang datang. Mungkin kami kurang pandai membuat dia bisa sadar akan kondisi yang sebenarnya...”Yah, Bibi...menyangka setiap hari orang yang menemuinya hanyalah orang kebenaran, atau teman satu pasien, atau orang asing! Ia memang sedang hilang akal. Tapi tak pernah aku sangka ketakutannya begitu besar hingga membuat ia kehilangan nyawa di bawah roda mobil mewah di jalan raya! “Kita pulang...Bibimu harus segera kita makamkan !” ajak Ayah.T A M A T

We Must Understand Each Other

Many times I must to broke up with my boy friend just because miss understanding. Many way I tried to keep my relationship, but as a woman I have no strong heart to stand with anger. Maybe because Im too young to know about love. The first time im falling in love, when I was 20 years old, he is older 5 years than me, his name is Carlo. For me he is so special for me in that time, we were together for a year. We broke up because we cant understand each other. When the first time we were stay together in one flat everything so perfect, just happiness that we had. After months and months everything changes, I felt that he have somebody else. And its hurting me when I knew it that he close with one girl in his school. I cant control my anger so I prefer broke up with him, and what he said to me is because he was bored with me, and what I said to him is fuck of from my face.First experience love for me its so importand, because I want to find boy friend who is care about me, love me, and the most importand is we understand each other. After Carlo my first love, Im looking new boy friend but cant find the best one for me.     Five years after my first love now Im become 25 years old, but I cant find my lover. Im so lonely I need some one beside me, but I don’t want get hurt anymore. I must chose carefully, and I don’t want have the same problem like before.Saturday night  usually I always hang out with my friends for get some fun, and this night its so different for me, I don’t know why I want to be feminine this night and my heart beating so fast. I don’t know what’s gonna happen. One my friend call my, “hey where are you? we are here in our favorite place.” “ok, I will be there in 15 minute.” I drive my motor and arrive in that place, my friends ordered my favorite drink. Im sitting in the bar, talking with them and enjoying jazz life music. Im feel the atmosfer in that place, I feel happy with them. We are loughing together, and talk bullshit about anything. I want to smoke, but Im forgot to bring lighter. Suddenly there is someone give me a lighter from behind me. I turn my body, and say thank you. My cigarette falling down after I look at him, my heart beating like a train, I cant blink my eyes, and he say “are you ok?” “yes, oh sorry” “this is your cigarette and this is the lighter.” “thank you so much.” My friends tease me with a joke and Im so shy in front of him. Then he say, “is it ok if I joint here?” “of course” my friends said that. One by one my friends was leave me a lone. Now just me and him. I don’t know what to say, so he start to ask me, “where are your friends going?” “I don’t know, usually we always go together, if you want I can call them to come back here.” “no, im just asking. If they want to leave its ok. What is your name?” “im Alice, and yours?” “Im Carlo” “what the hell?” “what did you say?” “nothing, forget it!” im just silent, his name is remind me of my first love, im so sad and I decide for going home. “I should go home” “why? Are you ok?” “yes, Im just tired” “ can we meet again sometimes?” “sure” “mm…may I know your phone number Alice if you don’t mind?” I tell him my phone number and I say bye to him. Im so disappointed this night, but I really like this guy, why his name must be the same?.One week, two week there is no news from him, I just though that he is not interested in me. I will forget it, and continue my life. This morning I woke up and ready go to work. Busy time to finish my document at work. I cant forget him, I miss him. This job make me tired, I want have smoke and drink coffee. I want to call him but I don’t know his number. What can I do is nothing. I continue doing my job till im finish around 9 pm. I go home, having shower and just want to sleep. My brain cant think anymore, to much thinking not good for me. I fall sleep so deep, till I cant hear my phone was ring. Next morning, im doing the same activity. Im forgot to bring my phone when I arrive in my work. “shit, where is my phone?aha silly Alice, how I can forget my thing?” I don’t care and I just work and work. Finish work, I want to buy dog food for my dog Jeny. Many toys for dog, I want buy one for Jeny. Im smiling because I imagine when I give this to Jeny, she will so happy. Arrived home, “Jeny, I have something for you” and she come to me. I gave the toy, and I go to my room, and check my phone. Who was called me 50 times? I don’t know this number, maybe its importand for me. I call back, “hi who is this?” “hi Alice its Carlo” “Carlo who?” “you don’t remember me?” “sorry , I have 2 Carlo friends” “we meet once in that place” “CARLO?? Is that you? really ? hey im sorry, I didn’t bring my phone at work because I was forget.” “its ok, do you have time now? Can we meet? After long time we didn’t meet” “yes, where?what time?” “now, in the same place.” “OK, I will get ready and go there.” “Ok then, see you soon.” Im so happy, get ready for meet my dream guy.We talk all night long, and this is happen many times. We meet when ever we want to meet. We become closer and closer. Not suspected we’re close for 6 months as a friend. One night at my friend home party, all of us was drunk including me and Carlo. I cant stop talking when im drunk, I didn’t realise im talking so loud, and I saying something that make my friends surprise and also Carlo. I am saying, “ I love You Carlo from the first time we met” The music stop, and my friends and Carlo looking at me. Carlo come to me and ask me, “what did you say Alice?” “what did I say? Is nothing” “please I want to know” “I don’t understand what are you talking about” “you said, you loved me” I shocked, and cant speak anymore.I open my eyes in the morning, “where am i?” “your home” “why,you are here?” “because you were drunk last night” “thanks for take care of me” “ok then I should go home” “ok” “before I go, may I ask you something?” “yes” “is it true, do you loved me?” “what the hell you are talking about?” “oh so you just drunk, ok then never mind” “wait Carlo, don’t miss understanding” “you already answear my quation, so I was wrong.” “wait! Can we drink coffee and talk?” “yes” I cant help my feeling anymore, I say about my feeling to him also I tell the story about my first lover. He give smile to me, and im so happy when he said that he have the same feeling with me.Many years we always together, now im 50 years old. Carlo my husband,my childrens  are Tomy, Christine, and Jo made me to be happy person in this world

Dilarang Jatuh Cinta

Wah! Semua mata terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!'' Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!'' Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi. Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk apa?''''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.'' ''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur. ''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi: ''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh. Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri. Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya, ''Cintakah?!''

Sastrawan Indonesia : Sitor Situmorang

Sitor Situmorang

'Kepala Suku' Sastrawan ‘45

Nama:
Sitor Situmorang
Lahir:
Harianboho, 2 Oktober 1924
Istri:
1. Almarhum Tiominar
2. Barbara Brouwer
Anak:
1. Retni Situmorang
2. Ratna Situmorang
3. Gulon Situmorang
4. Iman Situmorang
5. Logo Situmorang
6. Rianti Situmorang
7. Leonard Situmorang

Pendidikan:
AMS di Jakarta

Pengalaman Pekerjaan:
1. Pemimpin Redaksi “Suara Nasional
2. Wartawan Kantor Berita “Antara”
3. Wartawan Harian “Waspada”

Karya sastra:
 Surat Kertas Hijau, 1953
 Dalam Sajak, 1955
 Wajah Tak Bernama, 1955
 Drama Jalan Mutiara, 1954
 Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, 1956
 Terjemahan, karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol,M Nijhoff.
 Zaman Baru, 1962
 Cerpen Pangeran, 1963
 Esai, Sastra Revolusioner, 1965 (tulisan ini yang menyebabkannya masuk penjara)

Karya selama di tahanan:
 Dinding Waktu, 1976
 Peta Perjalanan, 1977

Karya selama dalam pengembaraan:
 Cerpen Danau Toba, 1981
 Angin Danau, 1982
 Cerita anak-anak Gajah, Harimau dan Ikan, 1981
 Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom, 1993
 Toba Na Sae, 1993 (esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi)
 Bloem op een rots dan Oude Tijger, 1990 (diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda)
 To Love, To Wonder, 1996 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris)
 Paris Ia Nuit, 2001 (diterjemahkan dalam Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia)


Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik.

Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.

Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.
Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.

Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.
Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.

Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik di Tanah Air.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.

Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.

Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.

Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.

Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.

Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.

Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.

Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS.

Munafik....!!!

Sayup-sayup terdengar suara imam shalat Tarawih di telinga Gito. Tapi, ia tidak dapat berkonsentrasi untuk mendengarkannya pada hari itu. Sesuatu menggangu pikirannya. Berkecamuk dalam hatinya. Mengacaukan konsentrasinya beribadah.
Git, elo ini palsu tau nggak, munafik lo! ujar sisi baik jiwa Gito.
Kenapa? tanya Gito dalam hati, pada sisi baiknya sendiri.
Elo nyadar gak sih? Udah 30 kali elo Shalat Tarawih, dan kali ini adalah yang terakhir! bentak sisi baik.
Loh terus emang napa? tanya Gito lagi, polos.
Elo ngerasain sesuatu gak?
Nggak.
Beneran? sang sisi baik bertanya untuk meyakinkan.
Eh, eh, bentar bentar! Gue tau! Gue ngerasa hampa!
Elo nggak ngerasa dapet manfaat apapun kan?
“Allahu akbar”
Iya ya, 29 hari gue shaum kok rasanya sia-sia ya? tanyanya sendiri dalam hati.
Nyesel kan lo, kalau 29 hari cuma dapet laper ama haus doang? sisi baiknya masih saja terus bertanya pada hati nurani Gito.
YA IYA LAH! jawab Gito.
Maka itu, elo musti berubah! saran sang sisi baik.
B..bb..berubah? Berubah apanya? tanya Gito dengan rasa heran.
Elo harus bisa, buat ngejadiin hari terakhir elo di Ramadhan tahun ini bermakna. Sapa tau aja bos, kita berdua nggak bisa ketemu lagi sama Ramadhan tahun depan!
Gimana caranya?
Ya elo harus melakukan segala sesuatunya ikhlas karena Allah. Bisa gak lo? sang sisi baik malah balik bertanya pada Gito.
Deg. Hatinya tertegun. Ia langsung merenungkan kata-kata bathinnya sendiri. Ia termenung beberapa saat lamanya, sampai pada saat Imam Tarawih mengakhiri Shalat Witir ini. 
“Assalamu’alaikum Warrahmatullah.”
Ia pun menengok ke kiri dan ke kanan. Alhamdulillahirabbilalamin. ujarnya sambil mengusap muka. Lalu setelah ia membaca ‘Doa sesudah Shalat Witir’ yang tercantum di Buku Ramadhannya, ia berdzikir. Dzikir paling murni dan tulus, yang pernah ia lakukan selama 14 tahun kehidupannya. Makin dalam dan khusyu’ ia mengucapkan pujian pada Allah, ia makin terlarut. Ia terbawa kedalam dimensi berbeda, dimana refleksi kehidupannya terlihat dengan jelas. Ia bisa melihat shaumnya yang 29 hari kebelakang, benar-benar terasa sia-sia. Tidak pernah ia merasa sebersalah ini pada Allah dan pada dirinya sendiri. Ia berjanji, besok, ia akan memperbaiki amalannya yang 29 hari kebelakang. Lalu do’a meluncur dari mulutnya dengan penuh ketulusan. Setelah mengucapkan Amiin ya Rabbal Alamin, ia menghampiri Imam Shalat yang terduduk sendirian di depan. Karena hari itu adalah hari terakhir Tarawih, jamaah Tarawih sangatlah sedikit. Apalagi masjid di dekat rumahnya terbilang tidak besar.
“Assalamualaikum Pak Ustadz.” sapanya dengan sopan.
“Waalaikumsalam. Tanda tangan?” tanya Ustadz itu to-the-point.
“Iya. Maaf ya Ustadz, merepotkan.” jawabnya halus sambil menyodorkan Buku Ramdahan dan ballpoint BOXY.
Pak Ustadz yang merasa penasaran, membolak-balik dulu setiap catatan di buku Ramadhan milik Gito. Ia melihat dengan penuh ketakjuban. Setiap halamannya, terisi dengan penuh dan baik. Catatan Ceramahnya tidak ada yang kosong, dan sangatlah rapi. Tulisannya sedikit miring, tapi indah dan mudah dibaca. Shalatnya tidak ada yang bolong. Tadarusnya hari itu mencapai juz ke-29, karena ia selalu menamatkan 1 juz setiap harinya. Infaq Shadaqohnya bersifat rutin. Dan shaumnya selalu tamat selama 29 hari. Dapat dibilang ibadah Ramadhannya sempurna.
“Subhanallah! Selama saya menandatangani Buku Ramadhan anak-anak, 6 tahun kebelakang, bapak belum pernah melihat yang catatannya sebagus ini. Adik jujur kan? Jangan bohong lho, dosa! Kalau memang nggak shalat, tulis aja nggak.” kata Pak Ustadz setengah menasihati.
“Insyaallah pak, catatan ini jujur apa adanya.”
“Alhamdulillah! Semoga saja ya dik, generasi bangsa kita semuanya seperti adik. Rajin, pinter, sopan, tampan pula! Wah, bapak do’akan semoga kedepannya adik selalu sukses, dan beriman pada Allah. Amiin.” seru pak Ustadz sambil menandatangan buku milik Gito.
Dipuji seperti itu, Gito malah merasa malu, bukan gembira. Walau dimulutnya terucap kata “Amiin!” berkali-kali, tetap saja, hatinya merasa malu bukan main.
Apa yang tadi dikatakan oleh sisi baik Gito memang benar.
Ia adalah remaja yang munafik.
****
Muhammmad Gito, adalah seorang siswa SMPN 6 Bandung yang berumur 14 tahun. Ia adalah seorang yang baik menurut lingkungannya. Sopan, ramah, pintar, dan yang pasti religius. Ia tinggal di sebuah keluarga sederhana yang sama-sama religius dan disiplin seperti dirinya. Maka itu ia terdidik menjadi orang yang santun dan baik hati. Tapi baru saja ia sadar, bahwa selama ini ia adalah seorang yang amat sangat munafik. Ya, Gito orang yang tidak jujur. Berkat sifat dan egonyalah, ia tumbuh menjadi anak yang tidak jujur. Ia sebenarnya bukan anak baik-baik seperti yang semua orang lihat. Ia sadar sepenuhnya atas hal itu.
Beberapa sifatnya yang paling menonjol antara lain adalah perfeksionis, egois, dan sombong. Ia ingin segalanya sempurna. Ia ingin dinilai paling baik, paling pintar, paling tampan, dan paling segalanya. Ia ingin sekali menyombongkan mutu dan prestasi dirinya kepada orang lain, karena hanya itulah yang satu-satunya dapat ia banggakan. Maka itu, terkadang ia menghalalkan segala cara untuk menjadi yang paling baik, paling sempurna, dan mendapat perhatian dari orang lain.
Seperti contohnya Ramadhan tahun lalu. Ia malas sekali. Ia hanya bermain Komputer seharian. Ibadah seingatnya saja. Puasa masih setengah-setengah. Buku Ramadhannya? Kosong. Ramadhan, baginya adalah bulan penyiksaan. Ia seringkali (bahkan hampir selalu) minum dan makan diam-diam saat tidak ada orang yang melihatnya. Lalu apa yang terjadi? Saat Ibu dan Ayahnya membagikan uang Lebaran untuk berbelanja keperluan, ia mendapat jatah paling sedikit. Sifat egoisnya muncul tiba-tiba. Ia mengajukan protes.
“Mah, kenapa THR aku paling sedikit? Sama kenapa baju aku dibeli di Matahari, sementara baju adek aja sepotong kecil gitu harganya 3x lipat lagi! Mana belinya di butik muslim eksklusif! Kenapa mah? Mamah kok nggak adil sih?!” protes Gito.
“Gito! Liat adek kamu Salsabila! Walaupun masih 10 tahun kayak gitu, udah ibadahnya rajin puasanya nggak pernah bolong lagi! Lah kamu? Udah gede kayak gini masiiih aja bandel. Kerjaannya tiap hari main Komputer mulu. Makan diem-diem lagi! Emangnya mamah nggak tau apa?” bentak Ibunya.
“J..jj…jadi mamah tau?” tanya Gito ketakutan.
Ibunya hanya pergi sambil berkata, “Tahun ini kamu nggak boleh nginep di Eyang! Jaga rumah!”
Sifat perfeksionis dan egois Gito mulai bereaksi. Ia bersumpah dalam hatinya, bahwa Ramadhan tahun depan, Sabila adiknya yang akan menjaga rumah. Ia harus menjadi lebih baik dari adiknya sendiri. Dan ia pun selalu bersikap baik dan patuh pada kedua orangtuanya semenjak kejadian itu.
Waktu berlalu dengan cepat. Setengah tahun kemudian, Gito merasakan cinta. Ya, ia jatuh hati pada seorang Jilbaber yang bernama Raia. Raia sangat rajin dalam beribadah. Tapi karena sifat Raia yang manja, ia selalu minta dibimbing oleh Gito. Tadarus bersama, dzikir bersama, pacaran dengan cara yang benar. Tapi ia merasa banyak hal dalam dirinya, terutama dari sisi agama, yang masih sangat kurang. Apalagi jika ia membandingkannya dengan Raia. Serasa mendapat cambuk, ia terus berusaha memperbaiki agamanya.
Tapi, semua itu, dia lakukan hanya demi pujian dari orang sekitarnya.
Gito rajin shalat, tapi setiap habis shalat, ia sengaja menggelar sajadahnya dan sarungnya agar kedua orangtuanya bisa melihat dan langsung memberinya pujian. Ia rajin membaca Al-Qur’an tapi ia selalu mengeraskan bacaannya sehingga orang satu rumah tahu jika ia sedang membaca Qur’an. Gito orang yang dermawan, tapi ia tak tulus. Setiap ia menyumbang, ia akan memperlihatkan dam memamerkan nominal uangnya bahkan kadang ia sering berkata, “Maap, duit gue abis, tadi dipake infaq!”
Ia selalu melakukan segalanya demi menjadi sosok yang sempurna.
Ia mampu mengubah dirinya secara total, demi mendapat pujian orang lain.
Begitulah, kehidupannya palsu.

LOVE